Achmad Yani Yustiawan
Warung Kopi Sport - Kota Solo, Jawa Tengah, terlihat adem ayem. Tak ada aktivitas yang menonjol. Padahal dalam beberapa hari ke depan, di kota dengan semboyan “Berseri” itu, akan digelar gawe besar. Bukan hanya akbar acara tersebut juga perlu diantisipasi dengan baik, karena bisa menegangkan.Ya, agenda itu adalah Kongres Luar Biasa PSSI. Bertempat di The Sunan Hotel Solo, seratus pengurus klub sepabola akan berembuk untuk memilih pimpinan tertinggi di organisasi olahraga terpopuler sejagat itu.
Acara ini disebut luar biasa karena sudah berlangsung untuk ketiga kalinya. Kongres sebelumnya menemui jalan buntu bahkan ricuh. Ini gara-gara sikap ngotot yang diperlihatkan kelompok tertentu yang ingin menggolkan pasangan jagoannya.
Namun kekhawatiran itu ternyata tak terbukti sama sekali. Pelaksanaan kongres yang menghabiskan dana miliaran rupiah itu, berjalan lancar dan aman. Hingga terpilihnya Djohar Arifin Husein dan Farid Rahman sebagai Ketua dan Wakil Ketua Umum PSSI tak ada kalimat protes apalagi keributan.
Ini tentu sangat melegakan terutama bagi penyelenggara. Ketua Komite Normalisasi Agum Gumelar, orang yang dianggap paling bertanggungjawab atas keberlangsungan kongres ini, tak henti-henti mengucap syukur.
Ada beberapa kemungkinan yang membuat kongres berjalan lancar. Kesiapan dan pendekatan Pemkot Solo yang menampilkan sisi budaya mungkin mampu melunakan sikap keras kepala sebagian peserta. Kehadiran putri Solo, kirab budaya, dan pertunjukan wayang mampu menyadarkan mereka bahwa segala hal bisa diselesaikan dengan lembut, dan bijaksana tanpa harus ada keributan.
Atau bisa pula hal ini dikarenakan perubahan peta perebutan kekuasaan. Jelang pemilihan, dua nama yang digadang-gadang harus memimpin PSSI memilih tak ikut kompetisi. George Toisutta dan Arifin Panigoro minta pendukungnya mengalihkan suara.
Terlepas dari itu semua, Kota Solo, seperti dikatakan Agum Gumelar, telah membuat sejarah baru. Ini adalah momen kebangkitan sepakbola di Tanah Air.
Solo memang memiliki sejarah olahraga. Kongres PSSI pertama pada 1930 digelar di kota yang kini berpenduduk sekitar 503.421 jiwa ini. Ketika itu Ir Soeratin terpilih jadi ketua umum pertama. Di sini ada juga klub tertua di indonesia, Persis Solo.
Mudah-mudahan ruh ini dapat memotivasi penguasa baru PSSI untuk menciptakan prestasi baru pula. Semoga pula keriuhan dan tarik ulur kepentingan yang nyaris “menenggelamkan” sepakbola Indonesia hanya bagian kecil dari upaya untuk meningkatkan kualitas kinerja PSSI.
Jangan pula PSSI dijadikan alat kelompok tertentu guna mewujudkan agenda terselubung. PSSI seharusnya jadi media untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa melalui sepakbola. Semoga! .
Acara ini disebut luar biasa karena sudah berlangsung untuk ketiga kalinya. Kongres sebelumnya menemui jalan buntu bahkan ricuh. Ini gara-gara sikap ngotot yang diperlihatkan kelompok tertentu yang ingin menggolkan pasangan jagoannya.
Namun kekhawatiran itu ternyata tak terbukti sama sekali. Pelaksanaan kongres yang menghabiskan dana miliaran rupiah itu, berjalan lancar dan aman. Hingga terpilihnya Djohar Arifin Husein dan Farid Rahman sebagai Ketua dan Wakil Ketua Umum PSSI tak ada kalimat protes apalagi keributan.
Ini tentu sangat melegakan terutama bagi penyelenggara. Ketua Komite Normalisasi Agum Gumelar, orang yang dianggap paling bertanggungjawab atas keberlangsungan kongres ini, tak henti-henti mengucap syukur.
Ada beberapa kemungkinan yang membuat kongres berjalan lancar. Kesiapan dan pendekatan Pemkot Solo yang menampilkan sisi budaya mungkin mampu melunakan sikap keras kepala sebagian peserta. Kehadiran putri Solo, kirab budaya, dan pertunjukan wayang mampu menyadarkan mereka bahwa segala hal bisa diselesaikan dengan lembut, dan bijaksana tanpa harus ada keributan.
Atau bisa pula hal ini dikarenakan perubahan peta perebutan kekuasaan. Jelang pemilihan, dua nama yang digadang-gadang harus memimpin PSSI memilih tak ikut kompetisi. George Toisutta dan Arifin Panigoro minta pendukungnya mengalihkan suara.
Terlepas dari itu semua, Kota Solo, seperti dikatakan Agum Gumelar, telah membuat sejarah baru. Ini adalah momen kebangkitan sepakbola di Tanah Air.
Solo memang memiliki sejarah olahraga. Kongres PSSI pertama pada 1930 digelar di kota yang kini berpenduduk sekitar 503.421 jiwa ini. Ketika itu Ir Soeratin terpilih jadi ketua umum pertama. Di sini ada juga klub tertua di indonesia, Persis Solo.
Mudah-mudahan ruh ini dapat memotivasi penguasa baru PSSI untuk menciptakan prestasi baru pula. Semoga pula keriuhan dan tarik ulur kepentingan yang nyaris “menenggelamkan” sepakbola Indonesia hanya bagian kecil dari upaya untuk meningkatkan kualitas kinerja PSSI.
Jangan pula PSSI dijadikan alat kelompok tertentu guna mewujudkan agenda terselubung. PSSI seharusnya jadi media untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa melalui sepakbola. Semoga! .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar